Putusan MK Soal Pilpres 2024, Menyelamatkan Bumi?

Politik  

Dalam konteks Indonesia, dengan ketukan palunya MK bisa menyelamatkan sakitnya bumi dari keserakahan penguasa dan pengusaha. Jadi yang dilakukan MK sebenarnya sangat mulia sekali. Artinya dengan menyelamatkan konstitusi berarti juga menyelamatkan bumi.

Oleh karena itu, berbicara tentang putusan MK, maka putusan tersebut haruslah progresif, kualitatif dan substantif dengan beberapa alasan.

Pertama, putusan MK yang dibuat dengan memuat “irah-irah” (kepala putusan) yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”. Artinya, putusan MK memiliki tanggungjawab transcendental, tanggung-jawab ilahiyah. Tidak hanya memiliki pertanggungjawaban kepada manusia, kepada masyarakat, kepada bangsa dan negara. Tanggungjawabnya tidak hanya di sini, tapi juga di sana (dalam kehidupan sesudah mati).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kedua, ada cacat procedural dan substantif. Ada kebohongan, manipulasi dan akal-akalan dari sejak awal pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres. Mengapa? Karena peran pamannya, Anwar Usman, selaku ketua MK yang melalui putusan MK No 90 meloloskan Gibran padahal melanggar ketentuan UU Pemilu dan Peraturan KPU. Dan karena kebohongannya Anwar Usman tersebut diberhentikan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melalui putusan MKMK No 02.

Apakah bangsa dan negara ini akan dibangun dari kebohongan dan ketidakjujuran? Apakah kepemimpinan nasional akan dilahirkan dari proses nista seperti itu? Bukankah sering diungkapkan a leader is not made but born? (pemimpin itu dilahirkan dan bukan direkayasa?). Melalui Putusan MK No 90 Tahun 2023 Gibran tak tau malu mendaftarkan sebagai Cawapres Prabowo Subianto dan Prabowo menikmati semua privilege bersama anak Presiden RI itu.

Padahal, putusan No 90 tersebut bukan self-executing, artinya KPU harus merubah terlebih dahulu Peraturan KPUnya (PKPU No 19 tahun 2019) tapi ini tak dilakukan KPU. Tegasnya, KPU harus menindaklanjuti Putusan MK No 90 tersebut sesuai Pasal 231 UU Pemilu/UU No 7 Tahun 2017 dengan merubah terlebih prasyaratnya agar Gibran memenuhi syarat formal. Tapi KPU tutup mata.

Begitupun Bawaslu, yang menurut UU Pemilu Pasal 454 (2) sifatnya harus aktif karena Bawaslu adalah “Badan Pengawas” dan bukan “Badan Penerima Laporan”. Bawaslu harusnya pro aktif. Tapi lagi-lagi Bawaslu masa bodo. Karenanya jangan heran bila banyak kampus bersuara kritis dan banyak pihak sereta tokoh menyampaikan Amicus Curiae kepada MK.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image