Kasus La Galigo: Agama itu Tak Hilang, Tapi Berubah Menjadi Sastra?

Budaya  

UNESCO di tahun 2011 menetapkan La Galigo sebagai Memory of the World. Ini satu hal yang luar biasa. Di mata dunia, di mata PBB yang diwakili oleh UNESCO, mereka mengakui La Galigo satu kekayaan dunia. Itu kisah yang berharga secara peradaban, yang perlu dilindungi. (1)

Tidak hanya dilindungi, UNESCO juga mengupayakan agar dokumen ini bisa diakses secara universal, salah satunya dengan dibuatkan versi digitalnya.

Memory of the World dimulai UNESCO di tahun 1992. Saat itu banyak sekali pemikir dan budayawan, juga pemimpin dunia menyatakan prihatin atas begitu banyak dokumen-dokumen tua yang berharga di luar sana, namun rusak ditelan masa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Terjadi pula collective amnesia. Pelan-pelan peradaban baru, manusia di zaman ini melupakan apa yang pernah dibuat, karya-karya besar di masa silam. Padahal banyak inspirasi dan lesson to learn dari dokumen dan properti besar masa silam itu.

Maka diciptakan satu badan baru yang mengurus Memory of the World. Ini proyek yang mencoba melindungi dan memberikan akses universial kepada dokumen-dokumen berharga yang tua itu.

Hingga tahun ini, sudah lebih dari 381 proyek dari seluruh dunia, dari Amerika, Eropa, Asia, Afrika, Australia, dikumpulkan oleh UNESCO.

Kita merasa tersanjung karena La Galigo salah satu dari Indonesia, salah satu dari Sulawesi Selatan yang ikut ditetapkan sebagai bagian dari Memory of the World.

Ini hal pertama yang membuat La galigo istimewa.

Hal kedua yang tak kita duga juga ternyata La Galigo dari Sulawesi Selatan ini, ia dianggap sebagai sastra terpanjang dalam sejarah. (2)

Sebelumnya kita menduga Mahabrata dari India sana, yang terpanjang karena Mahabrata terdiri dari 150 ribu bait. Begitu tebal kitab sastra Mahabrata ini.

Ternyata yang kita punya dari Sulawesi Selatan, La Galigo, itu terdiri 360 ribu bait. Ini berarti panjangnya dua kali lipat lebih dibandingkan panjangnya Mahabrata. Total dokumen yang tersisa saat ini sekitar 6.000 halaman.

Ketiga, yang membuat kita merasa istimewa, karena La Galigo dipentaskan dalam teater modern oleh sutradara Amerika Serikat bernama Robert Wilson. Kisah ini sudah dipentaskan ke berbagai negara di dunia, tidak hanya di Asia, tapi juga di Amerika dan Eropa. (3)

Yang membuat lebih istimewa lagi, bukan hanya karena ia dipentaskan di berbagai pentas yang sangat prestisius di dunia. Yang membuat kita lebih bangga ucapan dari Robert Wilson sendiri.

Menurut Wilson, La Galigo ini kisah mitologi tapi ia menyampaikan nilai-nilai yang sangat modern. Itu adalah nilai-nilai mengenai demokrasi, kesetaraan gender.

Misalnya kisah penciptaan manusia pertama di Bumi. Dalam kitab La Galigo, manusia pertama tidak diputuskan secara tunggal oleh satu kekuatan Dewa. Proses penciptaan manusia pertama diputuskan melalui musyawarah alam langit sana secara sangat demokratis.

Wanita dalam sastra ini juga tergambarkan sebagai tokoh-tokoh yang mandiri. Mereka seperti tokoh-tokoh yang sekarang kita kenal mewakili figur emansipasi wanita.

Kita pun kembali terpana. Di abad ke-14 di Sulawesi Selatan, sastrawan besar di sana sudah menggambarkan dan mengidamkan, juga mempopulerkan munculnya karakter wanita yang mandiri.

Menurut Robert Wilson, La Galigo itu ledakan kreativitas yang begitu dahsyat. Sehingga wilson hanya bisa mengekspresikan kitab itu melalui gabungan gambar, musik, dan tarian.

Menurut Robert Wilson, kata-kata modern tak cukup kuat untuk bisa menangkap kekayaan batin dan dinamika yang ada dalam novel itu.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image