Malik Ahmad Di Antara Tugas Menjaga Perbekalan dan Mengurus Korban Perang Masa PDRI

Oleh: Fikrul Hanif Sufyan, pengajar, pemerhati, dan penulis sejarah
Di tengah euforia kemerdekaan, dan keterlibatan guru-guru Kauman Padang Panjang dalam pembentukan barisan Hizbullah, mereka mendapat berkah dari aktivitas pergerakannya itu. Sebagian besar dari mereka, diamanahi di pos-pos pemerintahan.
Beberapa nama yang masuk dalam struktur birokrasi pemerintah di Sumatra Barat, antara lain Marzoeki Jatim sebagai Wakil Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sumatra Barat, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto selaku Bupati Solok, dan Oedin sebagai Kepala Polisi Sumatra Barat.
Guru dan Dunia Birokrasi
Pada tahun 1946, mantan direktur Kulliyatul Muballighat, Malik Ahmad dilantik sebagai Wakil Kepala Jawatan Sosial Sumatra Barat, mendampingi Bagindo Moh. Thahar asal Pariaman.
Sejak masuk dalam birokrasi pemerintahan, jenjang karirnya makin cemerlang. Jabatannya selaku Wakil Ketua dipegangnya sejak 17 Mei 1946 sampai 1 Januari 1948. Meskipun telah memulai karir di dunia birokrasi, namun Malik Ahmad tetap mewakafkan dirinya untuk mengajar di Kauman, dan mengurus Muhammadiyah Daerah Minangkabau.
Sebagian besar pimpinan Muhammadiyah yang terlibat dalam birokrasi pemerintahan, telah menggoyahkan struktur Majelis Idarah sebagai soko guru edukasi di tubuh persyarikatan. Adalah Rasjid Idris Dt. Sinaro Panjang, selaku Sekretaris menjadi garda terdepan–untuk menjaga Majelis Idarah di masa revolusi fisik.
Pada Mei 1946, Konferensi Daerah Minangkabau digelar di Padang Panjang. Seluruh peserta, mengeluhkan terjadinya kevakuman organisasi, karena Saalah selaku Ketua telah menjabat Bupati Solok (HAMKA,1974: 104). Saalah masih tetap bersedia, untuk rangkap jabatan. Namun, mayoritas peserta Konferensi menolaknya.
Halaman 2 / 8
Ditunjuk Mengurus Perbekalan dan Pengungsi di Masa Darurat
Tepatnya, pada 15 Desember 1948, M. Joenoes Anis dari PB Muhammadiyah, Sidi Mhd. Ilyas (aanemer/Ketua Masyumi Padang Pariaman 1945-1946), dan Samik Ibrahim (pemilik NV Kopan) telah berkumpul di kediaman mertua Malik Ahmad di Pasie Bukittinggi.
Misi Joenoes Anis ke Bukittinggi adalah menyerahkan emas batangan, dan kain batik pada Samik Ibrahim, untuk modal usaha produktif bagi Muhammadiyah Sumatra Tengah.
Samik Ibrahim–perintis Muhammadiyah di Bandar X dan Sungai Penuh Kerinci itu, memang berniaga di Jalan Kumidi dan Kumango Bukittinggi. Kedua kedai yang dikelolanya, adalah usaha produktif, untuk Muhammadiyah Sumatra Tengah. Pesatnya perkembangan kedua kedai ini, rupanya hanya bertahan jelang Agresi Militer Belanda II.
Pada 19 Desember 1948, seluruh masyarakat digegerkan dengan berita penyerangan dan pendudukan ibukota Yogyakarta. Pun, ditawannya dwi tunggal Soekarno-Hatta oleh pasukan Belanda, untuk dibuang ke Muntok, Pulau Bangka.
Pasca ditawannya founding fathers, militer Belanda bergerak merebut Bukittinggi sebagai basis utama ibukota RI. Kekacauan segera terjadi. Kekuasaan pun vakum, karena Sjafruddin Prawiranegara belum mendapatkan surat kawat yang dikirim Bung Karno dan Bung Hatta, untuk membentuk pemerintah darurat di Sumatra Barat.
Atas inisiatif pribadinya, dibantu Gubernur Sumatra Teuku Moh. Hasan, residen Sutan Moh. Rasjid, pejabat sipil, dan militer, dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Di saat genting itu, Joenes Anies, Sidi Mhd. Ilyas, Samik Ibrahim yang berdiam di rumah mertua Malik Ahmad, dilanda kepanikan. Dari Radio RRI, mereka mendengar instruksi Gubernur Militer Sutan Moh. Rasjid, agar segera membumihanguskan objek vital di Bukittinggi.
Bersama Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, Joenoes Anis, Oedin, R.I Datuk Sinaro Panjang, Iskandar Zulkarnaini, dan Sidi Mhd.Ilyas, Malik Ahmad segera bergabung di Istana Bung Hatta, untuk mendengar instruksi lebih lanjut dari Ketua PDRI Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook