Politik

Mengenang Delegtimasi Pemilu 1997, Akhir Orde Baru, Hingga 'Brutus' Harmoko

Gedung DPR diduduki Mahasiswa 19 Mei 1998.
Gedung DPR diduduki Mahasiswa 19 Mei 1998.

Hari-hari akhir masa Orde Baru dahulu dikenang layaknya hari-hari yang panjang tanpa kepastian. Titiknya di mulai dari pidato mantan Presiden Seoharto ketika menyatakan diri akan ‘madeg’ (menjadi) Pandito. Dia ingin mengidentikan dirinya sebagai Semar, dewa yang menyamar menjadi kawula atau rakyat.

Namun entah apa keputusan itu dibatalkan sendiri beberapa bulan kemudian. Menjelang Pemilu 1997 Suharto kemudian menjilat ludahnya sendiri. Sejarah mencatat Suharto bersikap seperti itu karena desakan Ketua Umum Golkar yang juga menteri penerangan, Harmoko. Dia mengklaim bahwa seluruh rakyat berdiri dibelakang Suharto dan mengingginkan dia tetap menjadi presiden sekali lagi. Alasannya sebagai raja yang satria Suharto tak boleh ‘tinggal gelanggang colong playu’ (menininggalakn medang tempur secara pengecut dengan melarikan diri).

Kalimat nasihat Jawa itu kemudian dipilih Suharto. Dia menyetujui kalimat Harmoko yang katanya merupakan aspirasi dari seluruh lapiran rakyat Indonesia dari Sabang-Merauke. Penulis sendiri bisa paham bahwa itu dikatakan Harmoko ke berbagai daerah saat berjuma dengan rakyat yakni dari masa Golkar. Dan itu pun saya lihat dan dengar langsung sendiri karena beberapa kali mendengar apa yang dikatakannya, misalnya dlam pertunjukan wayang kulit di Kawasan Taman Siswa di Yogyakarta.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Harmoko yang pada sebuah sore datang ke rumah Ki Kasman (Seniman Wayan Ukur) dengani naik mobil Mercy warna hitam asyik mengatakan hal itu di sela menonton wayang dengajn lakon Arjuna Sasrabahu.