Politik

Mengenang Delegtimasi Pemilu 1997, Akhir Orde Baru, Hingga 'Brutus' Harmoko


Kalimat nasihat Jawa itu kemudian dipilih Suharto. Dia menyetujui kalimat Harmoko yang katanya merupakan aspirasi dari seluruh lapiran rakyat Indonesia dari Sabang-Merauke. Penulis sendiri bisa paham bahwa itu dikatakan Harmoko ke berbagai daerah saat berjuma dengan rakyat yakni dari masa Golkar. Dan itu pun saya lihat dan dengar langsung sendiri karena beberapa kali mendengar apa yang dikatakannya, misalnya dlam pertunjukan wayang kulit di Kawasan Taman Siswa di Yogyakarta. Harmoko yang pada sebuah sore datang ke rumah Ki Kasman (Seniman Wayan Ukur) dengani naik mobil Mercy warna hitam asyik mengatakan hal itu di sela menonton wayang dengajn lakon Arjuna Sasrabahu.

Apa yang dikatakan Harmoko itu kemudian bermunculan dalam berbagai forum pernyataan kedaulatan tekad. Suasana sangat masif dan terus menerus hingga jelang kampanye 1997. Walaupun sempat ada ‘indsiden kesleo lidah dari Harmoko yang menyebit bismilah-bismintul tapi tapi kasus itu tak berpengaruh. Media massa bungkam karena media yang nekad beroposisi yakni Tempo, Editor, dan Detik sudah dibreidel. Pendapat umum di publik kini satu suara.

Tapi perputaran zaman berkendak lain. Entah mengapa tiba-tiba Goerge Soros bikin krisis moneter. Melalui kekuatan uangnya mereka beli dolar hingga melambung setinggi langit. Maka mata uang Thailand jatuh. Di susul mata uang negara lainnya seperti Malyasia dan Indonesia. Atas situasi ini maka rakyat mulai gundah gulana. Mereka mempertanyakan kemampuan negara dari hantaman krisis moneter.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Maka DPR sekitar bulan Juni 1997 beratap. Penulis masih ingat ekpresi wahag menteri keuangan Mar’ie Muhammad yang mengatakan ekonomi Indonesia masih sangat kuat menghadapi krisis. Sosok Mari’e yang kurus dan berkacamata tebal dan terkenal dengan sebutan sebagai ‘Mr Clean’ menyatakan hal itu pada suatu sore di depan rapat parlemen komisi ekonomi. Mar’ie menyatakannya dengan ekpresi yakin meski ketika dicegat wartawan di pintu keluar dia menjadi irit bicara. Dia tak sehangat hari biasa yang selalu santai ketika ditanya wartawan.