Mengenang Delegtimasi Pemilu 1997, Akhir Orde Baru, Hingga 'Brutus' Harmoko
Uninya lagi, keptusan mundur Suharto itu imbas dari pernyataan dua hari beberapa hari sebelumya dari Harmoko yang kala itu memintanya mundur demi keselamatan bangsa-dan negara. Entah dari mana keberanian Harmoko yang selama menjadi menteri penerangan hanya bisa bicara dengan berkata ‘atas petunjuk bapak presiden’. Harmoko yang dahulu menyanjung-nyanjung Suharto setingga lain, saat itu mencampaknnya hingga dasar laut.
Layaknya lagu dangdut hits Oma Irama, Harmoko yang memulai dan Harmoko yang mengakhiri. Harmoko yang berjanji Harmoko yang ingkari.
Begitulah nasib Orde Baru, Suharto, dan delegitimasi Pemilu 1997 !
Hari-Hari yang Panjang: Mengenang Delegtimasi Pemiu 1997, Akhir Orde Baru, Hingga Lagu Dangdut Oma Irama
Hari-hari akhir masa Orde Baru dahulu dikenang layaknya hari-hari yang panjang tanpa kepastian. Titiknya di mulai dari pidato mantan Presiden Seoharto ketika menyatakan diri akan ‘madeg’ (menjadi) Pandito. Dia ingin mengidentikan dirinya sebagai Semar, dewa yang menyamar menjadi kawula atau rakyat.
Namun entah apa keputusan itu dibatalkan sendiri beberapa bulan kemudian. Menjelang Pemilu 1997 Suharto kemudian menjilat ludahnya sendiri. Sejarah mencatat Suharto bersikap seperti itu karena desakan Ketua Umum Golkar yang juga menteri penerangan, Harmoko. Dia mengklaim bahwa seluruh rakyat berdiri dibelakang Suharto dan mengingginkan dia tetap menjadi presiden sekali lagi. Alasannya sebagai raja yang satria Suharto tak boleh ‘tinggal gelanggang colong playu’ (menininggalakn medang tempur secara pengecut dengan melarikan diri).