Sejarah

Kualitas Guru dan Spiritual Suharto: Tidak, Tidak Pahit, Saya Sudah Kapok Jadi Presiden


Ulama khos yang juga bersikap seperti Abah Thoyib adalah Kiai Abdullah Salam, dikenal sebagai Mbah Dullah, dari Pesantren Matholi’ul Huda, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, yang berjarak sekitar 6 km dari kampung halaman penulis.

Menurut sahabat Anis Sholeh Ba’asyin yang sempat nyantri sebagai salik tahun 1990 – 2001, Mbah Dullah sering dikunjungi pejabat-pejabat tinggi setingkat menteri. Presiden Soeharto, tuturnya, juga pernah dua kali mengirim utusan yang menyampaikan keinginan Pak Harto untuk bisa bersilaturahmi secara khusus dengan Pak Kiai. Salah satu utusannya adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tetapi seperti halnya Abah Thoyib, Mbah Dullah pun memberikan jawaban yang kurang lebih sama.

Mursyid berikutnya yang dihubungi Presiden Soeharto adalah Buya Endang Bukhari Ukasyah dari Pesantren Asyrofuddin, Conggeang, Sumedang, Jawa Barat. Kepada penulis Buya menceritakan bahwa tatkala Pak Harto masih menjabat sebagai Presiden, beliau pernah mengirim utusan menemui Buya di pesantren, untuk menyampaikan permohonan agar Buya berkenan bersilaturahmi ke Cendana.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Karena memegang kaidah keulamaan untuk tidak menghadap ke penguasa kecuali dengan tujuan menegur, mengingatkan dan menasihati, Buya menolak undangan tersebut.

Undangan kedua diterima dan dipenuhi dengan datang ke kediaman Jalan Cendana, Jakarta, sesudah Pak Harto lengser.

Tentang penulis:

B.Wiwoho: Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.