Carita dari Rumah Betang Suku Dayak: "Sengkarut Lewu"

Sastra  

"Pagi besok Punding katanya akan datang lagi memperlihatkan usulan perjanjian yang sudah ditawarkan si bos sawit. Katanya, yang ditawarkan lebih banyak lagi. Bahkan mungkin, si bos akan datang langsung." Mina Dadang berujar.

"Tak kan kubiarkan Punding memengaruhi seisi lewu ini.' Mina Dadang melanjutkan ucapannya. Kali ini lebih berapi-api. Semburan geramnya jelas terwujud dalam setiap kalimat.

Aku tidak jadi beranjak dari dapur. Rasa ingin tahuku menguat saat mereka berbicara tentang Mang Punding, salah satu sepupu laki-laki Umai. Mang Punding memang sosok yang menarik bagiku. Menarik karena dia punya rumah lain di luar kampung. Menarik karena selama beberapa tahun terakhir, dia berhasil bekerja di kota yang jaraknya harus ditempuh lima jam dari kampung.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dan makin membuatku ingin tahu karena minggu lalu saat dia datang lagi ke lewu, Mang Punding sudah mengendarai mobil kap terbuka bersama beberapa orang Tentu saja uluh lewu ternganga melihat gaya tampilannya yang amat jauh berbeda.

Pertukaran kata Umai dengan Mina Dadang tentang sepupu laki-laki mereka ini tentu bisa memperkaya sketsaku. Mendadak pikiran isengku muncul. Cecak di atas tiba-tiba memukul ekornya -- menimbulkan bunyi kecil yang membuatku mencari tahu dari mana tepatnya arah bunyi itu. Cecak ini paham maksudku ternyata. Aku tersenyum menyeringai dan menengadah melihat ke cecak nakal itu. Ia seakan membalas dengan kembali memukul ekornya beberapa kali.

"Dikiranya kita tidak paham bahwa Punding sudah dibayar besar untuk mau jadi cecuruk biadab bos sawit itu. Mau dari Jakarta, mau dari mana.. aku tidak peduli. Aku tidak pernah mau menerima kubur moyangku dipindah. Haram bagiku membiarkan himba-ku dijarah. Pantang bagiku adat dipinggirkan demi uang dan fasilitas ini itu."

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image